Bertahan dengan Bisnis Tuak



JIKA Anda melintasi Jalan Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang, cobalah melihat deretan pohon kelapa yang berada persis di samping Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang. Di pucuk sebagian pohon kelapa yang ditanam di lahan milik Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia itu tampak jeriken- jeriken plastik berwarna putih dengan kapasitas lima liter menggantung.

JERIKEN itu dimiliki dan dipasang oleh Farulian Tampubolon (35), warga Perumahan Medang Lestari, Legok, Tangerang, dan saudaranya, Burhanudin Tampubolon (21) yang tinggal di Jalan Achmad Yani. Dua pria itu menggunakan jeriken untuk menampung nira dari pohon kelapa yang mereka sadap. "Sekarang kami menyadap 20 pohon. Setiap pohon yang disadap kami membayar Rp 10.000 per bulan kepada petugas LP (lembaga pemasyarakatan) yang mengelola lahan ini," kata Farulian Tampubolon. Di lahan itu ada lebih dari 100 pohon kelapa.

Tampubolon bersaudara menggunakan nira yang didapat dari penyadapan itu untuk bahan baku utama membuat tuak, minuman khas suku Batak yang banyak dijual di lapo, warung yang menjual makanan Batak. Mereka mulai menyadap pohon kelapa yang ada di Jalan Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna sejak Agustus 2003. "Waktu itu usaha bengkel sepeda motor kami bangkrut. Ketika jalan-jalan dan melihat banyak pohon kelapa, tiba-tiba muncul ide untuk membuat tuak dari nira pohon kelapa," kata Farulian, yang sudah tinggal di Tangerang sejak 1989.

Niat untuk membuat tuak semakin kuat ketika mereka melihat di Tangerang banyak lapo. "Bagi kami orang Batak, lapo yang tidak menyediakan tuak seperti sayur tanpa garam. Hambar," kata bapak tiga anak yang mengaku sudah sering membuat tuak dari nira aren selama masih di kampungnya.
UNTUK memperoleh nira, Tampubolon bersaudara harus memanjat pohon kelapa untuk menyadap manggar (bakal buah kelapa) yang umurnya sekitar tiga bulan. Artinya, manggar sudah tua, tetapi belum muncul kelapanya. Manggar muda belum banyak niranya, sementara yang sudah keluar kelapanya sudah tidak bisa disadap. Penyadapan dilakukan dengan memotong ujung manggar sekitar lima sentimeter. Setelah itu, selama tiga hari setiap pagi dan sore ujung manggar tersebut dipotong lagi sekitar satu sentimeter hingga akhirnya mengeluarkan nira. "Nira baru keluar kira-kira tiga hari setelah pemotongan pertama," ujar Farulian Tampubolon.

Setelah mengeluarkan nira, pelepah yang membungkus manggar lalu dibuka. Manggar selanjutnya disatukan dan diikat kuat lalu diarahkan ke bawah supaya nira dapat menetes. Tetesan nira itulah yang kemudian ditampung di jeriken-jeriken itu. Manggar yang baik, katanya, dapat terus meneteskan nira hingga satu bulan. Sementara yang kurang baik, penyadapan hanya bisa berlangsung dua minggu. Manggar yang baik, ujar Farulian Tampubolon lebih lanjut, biasanya dimiliki pohon kelapa lokal berumur di atas enam tahun yang daunnya tampak mengilap dan turun ke bawah. "Di setiap pohon, dalam waktu yang sama sebaiknya hanya ada dua manggar yang disadap. Sebab, jika terlalu banyak manggar yang disadap, kualitas dan kuantitas nira yang dihasilkan akan berkurang," tambahnya.

Setiap pagi, antara pukul 08.00 hingga 10.00, nira yang sudah ditampung itu diambil dan kemudian diolah. Sorenya mereka harus kembali memanjat untuk memotong manggar agar nira tetap menetes. Dalam sehari dua bersaudara itu hanya bisa memanjat menyadap 20 pohon. Lebih dari itu, mereka mengaku tidak kuat. "Untuk memaksimalkan nira yang didapat, setiap dua minggu sekali kami mencari manggar baru untuk disadap. Jadi, meski pohon yang disadap terbatas, jumlah nira yang kami peroleh relatif stabil, setiap hari antara 25 sampai 30 liter," kata Farulian Tampubolon. NIRA hasil sadapan yang berwarna putih seperti susu itu lalu disaring hingga benar-benar bersih. Penyaringan kadang harus dilakukan sampai tiga kali karena nira yang diambil dari pucuk pohon kelapa sering bercampur dengan sisa-sisa potongan manggar atau lebah pencari nira.

Setelah bersih, di dalam nira yang rasanya manis itu lalu dimasukkan potongan kulit pohon raru yang khusus didatangkan dari Sumatera Utara. Sebab di Tangerang pohon itu tidak ada. "Satu ikat besar kulit raru yang dapat digunakan sekitar dua bulan, harganya Rp 120.000," kata Burhanudin Tampubolon.
Kulit raru dapat digunakan hingga empat kali. Setelah itu harus dibuang karena sarinya sudah habis, ditandai dengan layu dan warnanya berubah dari cokelat segar menjadi keputih-putihan. Setelah direndam selama enam sampai delapan jam di dalam nira, kulit raru diambil lagi dan nira sudah berubah menjadi tuak yang siap dikonsumsi. "Jika kulit pohon raru yang direndam terlalu banyak, tuak akan berwarna cokelat dan rasanya terlalu pahit. Kalau kurang, tuak akan manis dan berwarna putih," ujarnya.

Menurut dia, dari 30 liter nira hasil sadapan, dapat dibuat 45 botol tuak yang setiap botolnya dijual Rp 2.000. "Tuak buatan kami dapat bertahan sekitar dua hari. Setelah itu, tuak harus dibuang karena rasanya sudah masam," jelasnya.

SEPERTI umumnya perajin kecil, Tampubolon bersaudara mengaku tidak pernah menghitung secara pasti berapa keuntungan yang mereka dapat dari usaha pembuatan tuak ini. "Uang yang kami peroleh langsung habis buat makan dan sekolah anak-anak. Jadi, tidak sempat lagi dihitung," tutur mereka. Soal kualitas, mereka menjamin tuak buatannya aman dikonsumsi. Namun, belakangan ini mereka sering kecewa oleh ulah sebagian lapo yang mencampur tuak buatan mereka dengan air matang. Akibatnya, pelanggan yang meminum tuak itu bisa terserang diare. "Sebagian besar pemilik lapo ingin mendapatkan untung sebesar mungkin. Akibatnya, kami yang sering menjadi korban. Tuak kami dianggap bermasalah karena membuat diare hingga tidak laku," kata Burhanudin Tampubolon. Banyaknya lapo yang nakal itu membuat mereka berdua hampir setiap bulan harus mencari lapo baru yang mau menampung tuak buatannya. "Jika lapo mulai memulangkan tuak karena katanya tidak laku, lapo itu biasanya sudah mencampur tuak kami dengan air. Kalau sudah begitu, kami akan tinggalkan lapo tersebut," kata Burhanudin Tampubolon.




Share your views...

1 Respones to "Bertahan dengan Bisnis Tuak "

JOKER12345 mengatakan...

http://bit.ly/PoK3rVip99


15 April 2018 pukul 04.44

Posting Komentar

Sebagian isi dan konten yang ditampilkan di blog ini diambil dari berbagai sumber, jadi bisa saja kurang akurat. Jika ada permintaan atas pelanggaran hak cipta akan segera kami respon sesuai dengan kebijakan kami menghapus sebagian atau seluruh isi, dengan mengirimkan mail ke: alexanderdhani@gmail.com (Disertai Bukti Penunjang) Terima Kasih.
 

© 2010 BUKU TAPANULI All Rights Reserved Thesis WordPress Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors